Anggapan baik terhadap bid’ah berarti menganggap Islam seolah-olah belum
sempurna
Syari’at islam
telah sempurna, sehingga tidak memerlukan tambahan ataupun pengurangan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah ku ridhoi islam sebagai
agamamu.”( Qs. Al-Maidah: 3) Dan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa
Sallam tidaklah wafat kecuali telah menjelaskan seluruh perkara dunia dan
agama yang dibutuhkan. Jika demuikian, maka maksud perkataan atau perbuatan
bid’ah dari pelakunya adalah bahwa agama ini seakan-akan belum sempurna,
sehingga perlu untuk dilengkapi, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan
dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala belum terdapat
di dalamnya.
Ibnu Majisyun
berkata : “Aku mendengar Imam malik berkata: “Barang siapa yang membuat bid’ah
dalam islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka Sesungguhnya dia telah
menuduh bahwa Nabi Muhammad rtelah berkhianat, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman Dalam Al-qur’an , “pada hari ini telah aku
sempurnakan bagimu agamu.” Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk sebagai
agama maka pada hari inipun bukan termasuk Agama.”( Asy-syatibi dalam
Al-I’tisam).
Amalan bid’ah tertolak (tidak di terima oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala )
Nabi
Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membuat hal yang
baru dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia
tertolak.” (Bukhari Muslim)
Sebagaimana
maklum bahwa syarat di terimanya amalan adalah: ikhlas dan sesuai dengan
sunnah.
Ikhlas
semata-mata karena mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala
di akhirat, bukan pujian atau balasan makhluk ataupun ucapan terima kasih yang
ini adalah merupakan kandungan syahadat La ilaaha illallah. Sesuai dengan
sunnah yaitu sesuai dengan perintah dan tuntunan Rasullullah Shallallahu
‘Alahi wa Sallam, bukan berdasarkan hawa nafsu dan bid’ah yang
diada-adakan, yang hal ini merupakan kandungan syahadat Muhammad Shallallahu
‘Alahi wa Sallam. Dengan demikian amalan bid’ah itu kehilangan syarat
kedua, dari dua syarat di terimanya amal.
Bid’ah…mengikuti hawa nafsu
Sebagaimana
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah: “para pelaku bid’ah adalah
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat. Mereka mengikuti hawa
nafsunya dalam sesuatu yang di sukai dan di benci, mereka menetapkan hukum
dengan prasangka dan syubhat. Mereka mengikuti prasangka dan apa yang di
inginkan nafsunya, padahal telah datang petunjuk dari Tuhan Subhanahu wa
Ta’ala mereka. Jika seseorang menggunakan hawa nafsunya dalam
masalah agama maka sungguh dia adalah orang yang difirmankan Allah Subhanahu
wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah. “(Al-Qashash:50)
Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan
maksiat
Imam At-Tsauri
rahimahullah berkata: “Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan
maksiat, orang terkadang bertaubat dari maksiat tetapi seseorang sulit
bertaubat dari perbuatan bid’ahnya. Maksud perkataan Imam Ats-Tsauri
rahimahullah itu di jelaskan oleh Ibnu Thaimiyah sebagai berikut: (makna
perkataan mereka para imam islam, seperti Sufyan Ats-Tsauri dan lainnya) bahwa
, amalan buruknya (yaitu bid’ah tersebut pent.) telah di hias-hiasi oleh
syaitan sehinggga ia melihatnya sebagai suatu kebaikan, karena permulaan taubat
adalah mengetahui perbuatannya itu buruk, sehingga ia bertaubat darinya, atau
bahwa ia telah meninggalkan suatu kebaikan yang di perintahkan secara wajib
atau tidak wajib, sehingga dia bertaubat dan mengerjakannya. Maka selama dia melihat
perbuatannya suatu kebaikan, padahal sebenarnya adalah suatu keburukan, niscaya
dia tidak akan bertaubat (Majmu’ fatawa X/9)
Bid’ah melenyapkan Sunnah
Seperti apa
yang di katakan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu: ” Tidaklah datang
suatu tahun pada Manusia melainkan mereka membuat bid’ah dan mematikan sunnah,
hingga bentuk-bentuk bid’ah menjadi hidup dan sunnah menjadi mati.”
Hasan bin
‘Athiyyah : “Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah dalam agama mereka melainkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut dari mereka sunnah yang sepadan
dengan nya, kemudian tidak akan mengembalikan kepada mereka sampai hari
kiamat.” betapa indahnya yang dikatakan oleh sahabat agung Ibnu mas’ud Radhiallahu
wa Anhu: “Hendaklah kamu menghindari apa yang baru di buat Manusia dari
bentuk-bentuk bid’ah. Sebab agama tidak akan hilang dari hati seketika. Tetapi
syaithan membuat bid’ah baru untuknya, hingga iman keluar dari hati, dan
hampir-hampir Manusia meninggalkan apa yang telah di tetapkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada mereka berupa shalat, puasa, halal dan haram, sementara
mereka masih berbicara tentang Tuhan Yang Mahamulia. Maka siapa yang
mendapatkan masa itu hendaknya dia lari. “Ia di tanya, “Wahai Abu Abdurrahman ,
kemana larinya ? “ia menjawab. “Tidak kemana-mana. Lari dengan hati dan
agamanya. Janganlah duduk besama-sama dengan ahli bid’ah.(Al-Hajjah I/312 oleh
Al-Ashbahani)
Bid’ah termasuk sikap ghuluw (melampaui batas syari’at)
Imam Al-Bukhari
berkata dalam kitab shahihnya, Kitab Al-I’tisham bil kitab wa sunnah: “Bab: Apa
yang dilarang tentang berlebih-lebihan, perselisihan di dalam ilmu, ghuluw di
dalam agama dan bid’ah-bid’ah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
: ” Wahai Ahli kitab janganlah kamu melampauibatas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakanterhadaap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman: “dan bahwa (yang kami peritahkan) ini adalah
jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari
jalanNya.”(Al-An’am 153)
Imam
Asy-Syathibi berkata: “sirhathal mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan Allah
yang dia serukan, yaitu As-Sunnah. Sedangkan As-Subul (jalan-jalan lain) adalah
jalan-jalan orang-orang yang berselisih. Yang menyimpang dari jalan yang lurus.
Mereka adalah para ahli bid’ah”(Al-I’tisham I/76 tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)
DR. Ibrahim bin
Muhammad Al-Buraikan menyatakan: “Dan sesunggunya melakukan/membuat bid’ah di
dalam agama akan menambah perpecahan di kalangan ummat karena hal itu merupakan
dasar yang menyelisihi agama, yang kita di larang mengkutinya sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu
dari jalanNya.”(Al-An’am 153) (Al-Madkhal lid dirasalah Al-‘aqidah
‘ala Madzhab Ahli Sunnah Waljama’ah)
BAHAYA BID’AH
BAGI PELAKUNYA
Amalan-amalannya tidak di terima
terdapat
beberapa nash yang menyatakan bahwa ibadah ahli bid’ah tidak di terima oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantarannya adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala : katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orangyang paling merugi perbuatannya. “yaitu orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.(Al-kahfi:103-104).
Imam Ibnu
Katsir berkata: ” Karena Sesungguhnya ayat ini adalah makiyah (turun sebelum
peristiwa hijrah dari makkah ke madinah) , sebelum berbicara terhadap
orang-orang yahudi dan nashara, dan sebelum adanya al-hawarij (kaum pertama
pembuat bid’ah) sama sekali. Sesungguhnya ayat ini umum meliputi setiap
orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jalan yang
tidak di ridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala , dia menyangka bahwa dia
telah berbuat benar didalam ibadah tersebut padahal dia telah berbuat salah dan
amalannya tertolak.” (Tafsir Al-Qur’annil Azhim)
Pelaku bid’ah
semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan
dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia
menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Dan dari Ayyub
As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguhan
kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .” Pernyatan
tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang khawarij: “satu
kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat kamu di
bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati
kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak
panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)
Asy-Syatibi
berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.)
menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang
jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156)
Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang
mengamalkannya sampai hari kiamat.
Dalam hal ini
Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru
kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan
barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang
yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)
Sedangkan
bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa orang-orang
yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu
‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.
Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan
menyerupai pembuat syari’at
Hal ini karena
pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) telah membuat
peraturan-peraturan kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya, sehingga
dia sendirian dalam hal ini. Dialah yang membuat keptutusan tentang apa yang di
perselisihkan oleh makhluk. Karena jika pembuatan peraturan-peraturan itu mampu
di lakukan oleh Manusia, niscaya agama yang berisi peraturan-peraturan itu
tidak di turunkan oleh Allah, para Rasul tidak perlu di utus, dan tidak ada
lagi perselisihan di kalangan Manusia. maka orang-orang yang mengadakan
perkara-perkara baru di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
berarti dia telah menempatkan dirinya sebanding dengan pembuat syari’at. Yaitu
dia membuat peraturan bersamaan dengan pembuat syari’at dan telah membuka pintu
perselisihan, serta menolak maksud atau tujuan pembuat syari’at di dalam
kesendiriannya dalam membuat syari’at (peraturan).(Al-I’tisham I/66)
Pelaku bid’ah
akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat
Rasululah Shallallahu
‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti
kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang
siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya
sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku,
kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya
mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui
apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu
‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi orang-orang yang merubah agama
setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim)
Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Allah
Dari Ibrhahim
At-taimi dia berkata: “Bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Ali
Radhiallahu wa Anhu berkhutbah kepada kami di atas mimbar dari batu bata dan
beliau membawa sebuah pedang, yang pada pedang tersebut terdapat sebuah
lembaran yan tergantung, kemudian Ali berkata: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala kami tidak mempunyai kitab yang di
baca kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang ada di
lembaran ini.” Kemudian Ali membukanya, maka didalam lembaran itu
tertulis:…maka barang siapa yan membuat perkara-perkara baru (bid’ah) di
madinah niscaya dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
malaikat-malaikatnya dan seluruh Manusia.” (Bukhari no. 7300 dan Muslim
no. 1730).
Pintu taubat hampir-hampir terkunci bagi shahibu (ahli)
bid’ah
Hal ini
disebutkan dalam beberapa hadist antara lain: Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala menghalangi taubat dari setiap shahibu bid’ah sampai ia
meninggalkan bid’ahnya (Shahih At-Tarhib I/97 dan Zhilalul Jannah : 21 oleh
Imam Al-Albani). Sesungguhnya ahli bid’ah tidak mendapakan taufik (bimbingan)
untuk bertaubat. Sehingga taubat itu sama sekali tidak terjadi pada mereka
kecuali jika dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah makna
yang benar, dan tidak ada keraguan padanya.Karena telah ditunjukkan oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan perkataan para salaf ini serta kenyataan para Ahli
bid’ah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan
Al-Basri : “Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan mengizinkan taubat bagi Ahli
bid’ah” (HR. Al-Lalikai).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar