Ikhlash Kunci Sukses dalam Bergaul
Bergaul dengan orang lain hendaknya didasari dengan
keinginan dan niat yang benar. Kecintaan dan kebencian terhadap mereka;
Melakukan sesuatu atau membiarkannya; Dan berbuat sesuatu atau tidak, jika
dilakukan karena Allah subhanahu wata’ala dan di atas keyakinan
menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala, maka kita akan memperoleh
kebahagiaan ketika bergaul dengan siapa saja.
Berkaitan dengan ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah
menyebutkan dengan ungkapan yang indah “Kebahagiaan dalam bergaul dengan orang
akan diraih jika engkau bergaul dengan mereka karena Allah, engkau mengharapkan
ridha Allah dan tidak mengharapkan ridha mereka, engkau takut kepada Allah dan
tidak takut kepada mereka, engkau berbuat baik kepada mereka karena mengharap
pahala dari Allah dan tidak balasan dari mereka, engkau tidak menzhalimi mereka
karena takut kepada Allah dan tidak takut kepada mereka. Sebagaimana disebutkan
juga di dalam sebuah atsar, “Berharaplah pahala kepada Allah dalam urusan
manusia, dan jangan berharap balasan kepada manusia dalam urusan Allah.
Takutlah pada Allah dalam urusan manusia dan jangan takut kepada manusia dalam
urusan Allah.”
Maksudnya adalah,”Janganlah engkau melakukan suatu bentuk
ibadah dan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala karena
mereka, menginginkan pujian mereka, dan karena takut kepada mereka, namun
berharaplah balasan dari Allah. Dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan
Allah, baik dalam hal yang engkau kerjakan atau yang engkau tinggalkan. Bahkan
kerjakan apa saja yang telah diperintah kan kepadamu meskipun mereka
membencinya.”
Ketika Bertemu dengan Orang
Seseorang akan sering bertemu dengan orang lain, baik di
masjid, di jalan, di tempat kerja, di rumah atau tempat-tempat lainnya.
Bagaimana seharusnya sikap dia manakala berjumpa dengan seseorang? Para Salaf
telah memberikan suri teladan yang sangat agung berkenaan dengan hal ini.
Abdur Rahman bin Mahdi berkata, “Disebutkan bahwa jika
seseorang bertemu dengan orang lain yang lebih tinggi ilmunya, maka itu adalah
hari ghanimah baginya (untuk mengambil ilmunya, red), dan jika bertemu
dengan orang yang semisal (setingkat), maka ia belajar bersama dan belajar juga
darinya, jika bertemu dengan yang di bawahnya, maka ia bersikap tawadhu’
(rendah hati) dan mengajarinya. (Lihat, Siyar A’lam an-Nubala’ 9/203)
Menyikapi Orang yang Keliru dalam Mencari Kebenaran.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya;
“(Mereka berdo’a), “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. 2:286)
Syaikhul Islam berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa orang
yang mencari kebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kemudian dia salah dalam sebagiannya, maka Allah subhanahu
wata’ala akan mengampuni kesalahannya, sebagai realisasi dari do’a yang
dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk Nabi-Nya dan orang-orang
mukmin, ketika mereka mengatakan, artinya, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS. 2:286) (Lihat, Dar’u
Ta’arudl Bainal Aqli wan Naqli, 2/103)
Maka apabila ada seseorang yang telah berijtihad untuk
mencari kebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka dia diampuni berdasarkan ayat
tersebut di atas. Demikian juga jika seorang alim telah mengerahkan
kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagian masalah i’tiqad
(keyakinan), maka dia tidak divonis dengan bid’ah dan tidak dihajr
(dikucilkan/ditinggalkan) disebabkan kesalahannya. Meskipun ucapan atau
pendapatnya adalah ucapan yang bid’ah, namun itu tidak mengharuskan dia divonis
mubtadi’ (ahli bid’ah). Sebagaimana terhadap ucapan kufur, tidak
mengharuskan pengucapnya divonis kafir, maka demikian juga tidak mengharuskan
divonis sebagai pelaku bid’ah bagi orang yang mengucapkan perkataan bid’ah,
kecuali jika syarat-syarat telah terpenuhi dan tidak ada lagi faktor penghalang
jatuhnya vonis tersebut. (Lihat al-Fatawa 28/233-234)
Oleh karena itu seorang ulama yang sudah dikenal
kebaikannya dan kesungguhannya di dalam mencari kebenaran, kemudian dia keliru
dalam satu masalah tertentu dan terjerumus dalam satu kebid’ahan, maka tidak
boleh kita katakan sebagai pelaku bid’ah. Kita jelaskan bahwa beliau salah
dalam hal tersebut, atau dalam masalah itu dia mencocoki firqah fulaniyah
(kelompok tertentu), namun dia bukan golongan mereka dan juga tidak
memegang keyakinan mereka .
Namun demikian, meskipun dia dimaafkan, karena telah
berusaha maksimal mencari yang benar, kita tetap mengatakan bahwa pendapatnya
adalah keliru atau bid’ah, lalu kita harus meninggalkan pendapat tersebut dan
mengambil pendapat para ulama lainnya yang lebih selamat. Berbeda halnya dengan
orang yang mengambil agamanya dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka orang tersebut adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) dalam
pengambilan sumber, dalam ucapan dan i’tiqad (kayakinan).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Kami mencintai sunnah dan
ahlinya, kami mencintai orang alim dalam hal yang mengikuti sunnah dan
perkara-perkara yang terpuji. Dan kami tidak mencintai segala sesuatu yang
diada-adakan berdasarkan ta’wil yang salah, dan penilaian adalah dengan
banyaknya kebaikan.” (Lihat, Siyar a’lam an Nubala’ 20/46)
Menggunjing Orang Lain adalah Penyakit dan Menyebut Allah
adalah Obat
Ibnu Aun berkata, “Menyebut aib orang lain adalah
penyakit, sedangkan menyebut Allah subhanahu wata’ala adalah obat.”
Imam Adz-Dzahabi memberikan komentar, “Benarlah demi
Allah, namun sungguh mengherankan karena kebodohan kita, mangapa di antara kita
meninggalkan obat dan lebih asyik dengan penyakit? Padahal Allah subhanahu
wata’ala telah befirman, artinya,
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 152)
“Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar (keutamaan nya dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. 29:45)
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tentram.” (QS. 13:28) (Siyar a’lam an-Nubala’6/369)
Dan juga amat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita
agar menjaga lisan serta peringatan agar tidak mengumbarnya dengan bebas tanpa
kendali. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50:18)
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50:18)
Dan firman Allah subhanahu wata’ala yang lain,
artinya,
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (QS. 18:49)
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.” (QS. 18:49)
Maka orang yang berakal akan selalu memerangi nafsunya,
dan selalu memikirkan ayat-ayat dan hadits tentang penjagaan lisan dari
kesia-siaan, senantiasa mengutamakan dzikir sehingga dia akan terus disibukkan
dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Memberikan Penghargaan kepada yang Berhak Mendapatkannya
Pilar ini tidak jauh dengan pilar keadilan dan obyektif
ketika menyebut kan orang lain, akan tetapi yang dimaksudkan di sini adalah
terbatas pada hal hal yang menjadi kekhususan dia dari orang selainnya. Karena
di antara orang ada yang menonjol dalam ilmunya, ada pula dalam jihadnya, dalam
dakwah dan selainnya.
Di antara contohnya adalah, Ubay bin Ka’ab adalah seorang
ahli dalam al-Qur’an, ahli dalam tafsir yaitu Ibnu Abbas, ahli memutuskan
perkara adalah Ali bin Abi Thalib, orang kepercayaan adalah Abu Ubaidah, ahli
penunggang kuda adalah Khalid bin Walid ridhwanullah ‘alaihim, ahli
dalam ilmu fiqih adalah Imam Malik, ahli dalam ilmu hadits adalah Ahmad bin
Hanbal, ahli ibadah adalah Al-Fudail bin Iyadh, ahli Nahwu adalah Sibawaih rahimahumullah,
dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.
Sumber: “Manhaj Ahlus Sunnah fin-Naqdi wal Hukmi ‘alal Akharin”, Hisyam bin Ismail ash-Shiini, hal 67-74 dengan meringkas. (Ibnu Djawari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar