Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]
Sungguh,
Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan
menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu
menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada
di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” * (Ali
‘Imran: 103)
Catatan * :
Wahai saudaraku, coba kita renungkan kembali, siapa kita pada tahun-tahun yang
silam. Tatkala kita belum mengenal namanya “ngaji”. Saat itu kita masih
berpesta di atas dosa, tersesat dalam belantara maksiat dan terombang ambing di
lautan bid’ah.
Alhamdulillah, Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita berkumpul dan bersaudara di atas tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara. Maka apakah layak jika kemudian kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling memutuskan hubungan, saling hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah?! Apakah kita hendak membuang nikmat Allah yang sangat agung itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang seharusnya kita bisa saling memahami?! Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur dan terus menjaga nikmat tersebut. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari tipu daya setan yang menghendaki perpecahan pada barisan Ahlus Sunnah.
Alhamdulillah, Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita berkumpul dan bersaudara di atas tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara. Maka apakah layak jika kemudian kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling memutuskan hubungan, saling hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah?! Apakah kita hendak membuang nikmat Allah yang sangat agung itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang seharusnya kita bisa saling memahami?! Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur dan terus menjaga nikmat tersebut. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari tipu daya setan yang menghendaki perpecahan pada barisan Ahlus Sunnah.
Dalam
menafsirkan lafazh: بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama
berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan
terjalinnya cinta kasih di antara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia
Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun
engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak
bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan
hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang
menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus
saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras
yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah
Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang
selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾
“Katakanlah:
‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58) [Lihat penjelasan Syaikh Shalih Alu
Syaikh dalam ceramah beliau yang berjudul Huquuq al-Ukhuwwah]
Seorang
muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan persatuan di antara sesama
mukminin merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah semata. Maka
hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Janganlah
seorang mukmin menganggap remeh kenikmatan ini. Janganlah ia menganggap bahwa
mencapai persatuan dan persaudaraan merupakan perkara yang mudah. Janganlah ia
menyangka bahwa tersenyumnya seorang muslim kepada muslim lainnya tatkala
bersua adalah perkara yang mudah. Sebab sekiranya Allah tidak menyatukan hati
mereka maka yang terjadi adalah raut masam, sikap saling membenci dan
menjatuhkan.
‘Abdah bin Abi
Lubabah berkata, “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku,
seraya berkata, ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu,
lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka
gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan’.”
‘Abdah
melanjutkan ceritanya, “Maka aku pun berkata, ‘Ini adalah perkara yang mudah.’
Mujahid lantas menegur, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena
Allah berfirman:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun
engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak
bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan
hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Lanjut
‘Abdah, “Aku pun mengakui bahwa Mujahid memiliki pemahaman yang lebih baik
dibandingkan aku.” [Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Awliyaa`
(III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas,
dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dengan sanad yang marfu’,
dalam Taariikh Waasith, pada biografi 'Abdullah bin Sufyan al-Wasithi
(I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena
beberapa syahid-nya. Lihat as-Shahiihah (V/10) hadits (2004).]
Persatuan
dan persaudaraan merupakan karunia yang sangat besar dari Allah kepada para
hamba-Nya. Oleh karena itu kita dapati bahwasanya syari’at sangat menjaga nilai
persatuan, sekaligus berusaha mewujudkan persatuan dan persaudaraan dengan
berbagai macam cara. Bahkan sampai dalam perkara-perkara yang dianggap ringan
dan sepele.
Diantaranya
adalah disyari’atkannya mengangkat amir (pemimpin) tatkala safar
(melakukan perjalanan) untuk menghindari timbulnya silang pendapat. Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ
فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Jika
tiga orang keluar untuk melakukan safar maka hendaknya mereka mengangkat salah
satu dari mereka sebagai amir (pimpinan).” [HR Abu Dawud III/36 no 2608,
dihasankan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (III/314) no
(1322)]
Dengan
adanya pemimpin dalam safar maka semua permasalahan yang timbul dalam safar
dapat terselesaikan dengan baik. [Lihat perkataan Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun
Naazhiriin (II/201).] Tidak adanya amir akan memudahkan munculnya
perselisihan, terlebih lagi jika para musafir tersebut banyak jumlahnya.
Begitu
juga mengucapkan dan menyebarkan salam. Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam
bersabda,
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى
تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ
إذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوْا السَّلامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian
tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman
sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukan kepada kalian suatu amalan
yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah
salam di antara kalian.” [HR Muslim
(I/74) no (54) dan at-Tirmidzi (IV/274) no (1833).]
Demikian
pula dengan senyum kepada sesama saudara. Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam
bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ
شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Janganlah
engkau meremehkan sedikit pun kebaikan meskipun hanya sekedar jika engkau
bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang cerah.” [HR Muslim (IV/2026) no
(2626), Abu Dawud (IV/350) no (5193), dan at-Tirmidzi (V/52) no (2688).]
Begitu
juga dengan disyari’atkannya menjenguk orang sakit, menjawab salam, membalas
orang yang mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) tatkala
bersin, dan demikian banyaknya perkara-perkara yang disyari’atkan demi menjalin
persatauan dan persaudaraan.
Sebaliknya,
syari’at juga mengharamkan segala perkara yang mengantarkan kepada perpecahan
dan perselisihan.
Diantaranya
adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam:
وَلاَ يَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى
بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطِبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
“Janganlah
seseorang membeli di atas pembelian saudaranya. Dan janganlah ia meminang
(seorang wanita) di atas pinangan saudaranya.” [HR Al-Bukhari (II/752) no
(2033); (II/970) no (2574) dan Muslim (II/1032) no (1412).]
Kedua
perkara di atas tidaklah diharamkan melainkan karena menimbulkan permusuhan,
sekaligus merusak persaudaraan dan persatuan di antara kaum mukminin.
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَلاَ
يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُوْنَ صَاحِبِهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْزُنُهُ
“Jika
kalian berjumlah tiga orang maka janganlah dua dari kalian melakukan najwa
(berbicara sambil berbisik) tanpa mengajak orang ketiga, karena hal itu akan membuatnya
sedih (gundah).” * [HR Muslim
(IV/1718) no (2184).]
Catatan
: Imam al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Timbul dalam hati orang ketiga
sesuatu yang membuatnya sedih karena najwa tersebut. Hal ini
menyebabkan ia menyangka dalam hati bahwa najwa tersebut menyebutkan
tentang dirinya dengan perkara yang tidak disukainya, atau ia menyangka bahwa
para sahabatnya yang melakukan najwa memandangnya tidak layak untuk
ikut dalam pembicaraan rahasia mereka, dan perasaan-perasaan lainnya yang
merupakan lemparan-lemparan setan serta bisikan-bisikan hati. Semua terjadi
jika ia bersendirian, (sementara kedua sahabatnya berbicara sambil berbisik).
Adapun jika ada orang lain yang bersamanya (menemaninya), maka hal-hal tersebut
tidak timbul dalam hati. Oleh karena itu, (hukumnya) sama saja, berapa pun
jumlah orang-orang yang bernajwa. Maka janganlah empat orang melakukan najwa
tanpa menyertakan salah seorang dari mereka, jangan pula sepuluh orang
(melakukan najwa) tanpa menyertakan salah seorang dari mereka. Tidak
juga seribu orang. Karena penyebab larangan tersebut tetap ada pada diri orang
yang diikutkan dalam najwa (yaitu membuatnya gundah). Bahkan
kemungkinan kegundahan jauh lebih besar jika yang melakukan najwa
berjumlah banyak, sehingga tingkat pengharamannya menjadi lebih. Dalam hadits
ini hanya disebutkan tiga orang, karena itulah jumlah terkecil yang
memungkinkan terjadinya najwa. Lihat Tafsir al-Qurthubi
(XVII/295).
Allah
berfirman,
}إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا{ (المجادلة : 10 )
“Sesungguhnya
pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu
berduka cita.” (QS. 58:10)
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ
الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ
تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ
إِخْوَانَا
“Waspadalah
kalian dari (1) prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta,
dan janganlah (2) ber-tahassus (mencari-cari kesalahan saudaranya melalui
perantaraan kabar), (3) ber-tajassus (mencari-cari kesalahan saudaranya dengan
mengamati gerak-geriknya), (4) saling hasad, (5) saling membelakangi, serta (6)
saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.”
[HR. Al-Bukhari (V/2253) no (5717).]
Perhatikanlah,
keenam perkara di atas diharamkan karena merusak tali persaudaraan dan
persatuan. Karena itulah di akhir hadits Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa
Sallam memerintahkan untuk saling bersaudara. Dan masih sangat banyak lagi
hal-hal yang diharamkan demi menjaga persatuan dan persaudaraan di antara kaum
muslimin; seperti ghibah**, namimah
(adu domba), dan lain sebagainya.
Catatan
** : Di mana Allah menyerupakan pelakunya dengan memakan mayat saudaranya. Ini
jelas menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar. Di antara hikmah
diharamkan ghibah adalah menimbulkan perpecahan antara pelaku ghibah
dengan objek ghibah. Terlebih lagi jika objek ghibah
mengetahui hal tersebut.
Oleh
sebab itu syari’at memberi ganjaran yang sangat besar bagi orang
yang berusaha menyatukan kaum muslimin yang sedang bersengketa.
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata kepada Abu Ayyub,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى عَمَلٍ
يَرْضَاهُ اللهُّ عَزَّ وَجَلَّ أَصْلِحْ بَيْنَ النَّاسِ إِذَا تَفَاسَدُوْا
وَحَبِّبْ بَيْنَهُمْ إِذَا تَبَاغَضُوْا
“Maukah
aku tunjukan kepadamu sebuah amalan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?
Perbaikilah (hubungan) di antara manusia jika mereka saling merusak, dan
buatlah mereka saling mencintai jika mereka saling membenci.” [HR Abul
Husain ash-Shaidawi dalam Mu’jam asy-Syuyuukh (I/250), at-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabiir (VIII/257) no (7999), Abu Dawud at-Thayalisi
dalam Musnad-nya (I/81) no (598), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan
(VII/490) no (11094). Syaikh al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits hasan
li ghairihi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no (2820).]
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ
دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ قَالُوْا بَلَى قَالَ إِصْلاَحُ
ذَاتِ الْبَيْنِ وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ الْحَالِقَةُ
“Maukah
kukabarkan kepada kalian perkara yang lebih afdhal dibandingkan
derajat puasa, shalat, dan sedekah?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja.”
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam berkata, “Perbaikilah (hubungan) di
antara sesama kalian. Dan rusaknya hubungan adalah pencukur.” [HR. Abu
Dawud (IV/280) no (4919). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.]
Maksudnya
adalah mencukur dan menghilangkan agama. [Lihat ‘Aunul Ma’buud
(XIII/178).]
Bahkan
syari’at membolehkan berdusta dalam rangka mendamaikan dua orang yang sedang
bersengketa, demi terjalinnya persatuan dan persaudaraan antara sesama
mukminin.
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda,
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ
يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرا أَو يَقُوْلُ خَيْرًا
“Bukanlah pendusta
orang yang mendamaikan di antara manusia (yang bersengketa) atau menyampaikan kebaikan
(dalam rangka mendamaikan) atau berkata baik. ”* [HR Al-Bukhari (II/958)
no (2546), Muslim (IV/2011) no (2605), dan At-Tirmidzi (IV/331) no (1938).]
Catatan * : Yaitu
mengabarkan kepada pihak pertama dari yang bersengketa tentang kebaikan yang
dilakukan oleh pihak kedua, dan tidak menyebutkan kejelekannya. Begitu juga
sebaliknya Lihat Faidhul Qodiir (V/359)
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي
ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ
وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidaklah
halal dusta kecuali pada tiga perkara: (1) seorang suami berbohong kepada
istrinya untuk membuat istrinya ridha, (2) berdusta tatkala perang, dan (3)
berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) di antara manusia” ***
[HR At-Tirmidzi (IV/331) no (1939). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani, kecuali tambahan lafazh: "Untuk membuat istrinya ridha".]
Catatan *** : Para ulama berbeda pendapat tentang dusta yang
dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dusta tersebut memang dusta yang hakiki.
Sebab dusta yang diharamkan adalah yang memberi mudharat bagi kaum muslimin,
sementara dusta yang dibolehkan adalah yang membawa maslahat bagi kaum
muslimin. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta yang
diperbolehkan adalah tauriyah, yaitu mengucapkan kalimat yang memiliki
dua makna, makna yang dekat dan makna yang jauh, pembicara bertujuan agar sang
pendengar memahami ucapan tersebut dengan makna yang dekat, padahal pembicara
sendiri memaksudkan makna yang jauh, namun ucapan tersebut pada hakekatnya
bukanlah dusta. Lihat al-Minhaaj (XVIII/158) dan ‘Umdatul Qaari
(XIII/269).
Imam
an-Nawawi berkata, “Yang zhahir, adalah bolehnya dusta secara hakiki pada tiga
perkara tersebut. Namun at-ta’riidh itu lebih utama.” Ucapan tersebut
dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VI/159), bab al-Kadzib
fil Harb. Selanjutnya pendapat
tersebut dipilih oleh Ibnu Hajar, dan beliau membantah pendapat yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini adalah ta’riidh (tauriyah).
Persatuan, saling bersaudara,
dan saling mencintai antara sesama kaum muslimin merupakan hukum fundamental
yang dibangun di atas dalil yang sangat banyak. Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Mengingat hal ini merupakan hukum
asal, maka sikap saling menjauhi dan saling memutuskan hubungan (hajr)
adalah terlarang. Banyak dalil yang mengharamkan hal tersebut.” [Bahjatun
Naazhiriin (III/108).]
Definisi Hajr
Hajr adalah antonim dari washl (menyambung). [Lisaanul
‘Arab (V/250).] Tahaajur (saling melakukan hajr) maknanya adalah taqaathu’,
yaitu saling memutuskan hubungan. [Mukhtaar ash-Shihaah, hal. 288]
Imam
Ibnu Hajr berkata, “Hajr adalah seseorang tidak berbicara dengan yang
lain tatkala bertemu.” [Fat-hul Baari (X/492).]
Imam
al-‘Aini berkata, “Hajr adalah tidak berbicara dengan saudaranya
sesama mukmin tatkala bertemu, dan masing-masing dari keduanya berpaling dari
yang lain tatkala berkumpul.” ['Umdatul Qaari (XXII/141).]
Hukum asal hajr adalah dosa
besar
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Hukum asal meng-hajr sesama
muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika lebih dari tiga hari.” [Majmuu’
Fatawaa Ibnu 'Utsaimin (III/16), soal no (385). Lihat juga penjelasan
Syaikh Salim Al-Hilali dalam risalah beliau yang berjudul Mathla’ul Fajr fi
Fiqhiz Zajr bil Hajr, hal 8-16.]
Diantara
dalil-dalil yang menunjukan bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam,
مَنْ هَجَرَ أَخَاه سَنَةً فَهُوَ
كَسَفْكِ دَمِهِ
“Barangsiapa
yang meng-hajr saudaranya selama setahun maka ia seperti menumpahkan darah
saudaranya tersebut.” [HR Abu Dawud (IV/279) no (4915). Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah (II/599) no
(928).]
لاَ يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاه فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ
فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
“Tidaklah
halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari.* Barangsiapa yang meng-hajr lebih dari tiga hari
lalu meninggal maka ia masuk neraka.” [HR Abu
Dawud (IV/279) (4914), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.]
Catatan
* : Imam an-Nawawi berkata dalam al-Minhaaj (XVI/117), “Para ulama
menyatakan bahwa hadits tersebut menunjukan diharamkannya hajr lebih
dari tiga hari di antara kaum muslimin. Juga menunjukkan bolehnya hajr
selama tiga hari…. Mereka menyatakan bahwasanya dimaafkan hajr selama tiga hari
karena seorang manusia diciptakan dengan tabiat mudah marah, akhlak yang buruk,
dan yang semisalnya, maka dimaafkan menghajr selama tiga hari agar sifat
tersebut hilang.”
فَإِنْ مَاتَا عَلَى صِرَامِهِمَا
لَمْ يَجْتَمِعَا فِي الْجَنَّةِ أَبَدًا
“Jika
mereka berdua (yang saling meng-hajr) meninggal dalam keadaan saling meng-hajr
maka keduanya tidak akan berkumpul di surga selamanya” [HR. Ahmad (IV/20) no (16301, 16302), al-Bukhari dalam
al-Adabul Mufrad (I/145) no (402), al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab
(V/269) no (6620), dan selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam as-Shahiihah (III/249) no (1246).]
Pantaslah
kiranya sikap meng-hajr seorang muslim selama lebih dari tiga hari
termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat bertentangan dengan prinsip
Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan.
Islam
adalah nasihat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama
ini adalah nasehat.” [HR Muslim (I/74) no (55).]
Sedangkan
tidak diragukan lagi bahwa hajr menafikan nasehat. Sebab dua orang
yang saling menghajr tidak mungkin bisa saling menasehati. [Al-Hajr fil
Kitaab was Sunnah, hal. 142.]
Hajr juga menghilangkan hak-hak seorang muslim, sehingga
pelakunya tidak memberi salam kepada selainnya, begitu juga sebaliknya. Jika
salah satu dari dua orang yang saling meng-hajr menderita sakit, maka yang lain
tidak mengunjunginya. Masih banyak lagi hak-hak lainnya yang menjadi
terabaikan.
[Dicuplik dari
Kata Pengantar “Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan”, Media Tarbiyah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar