Oleh : Al-Ustâdz Abu ‘Abdil Muhsin, Lc.
[Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah]
Penerapan
Hajr
Kendati
demikian, terkadang boleh, disyari’atkan, atau bahkan diwajibkan bagi seorang
muslim untuk keluar dari hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan
boikot kepada muslim lainnya, apabila kondisinya memang menuntut demikian.
Sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam pernah meng-hajr
Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena mereka tidak ikut serta dalam perang
Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para Salaf yang meng-hajr
ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan umat dari) mereka, agar
umat tidak terkena dampak buruk mereka. [Lihat
atsar-atsar Salaf mengenai hal ini dalam risalah Imam as-Suyuthi yang berjudul Hijraan
Ahlil Bid’ah aw az-Zajr bil Hajr.]
Namun
perlu diperhatikan, mengingat penerapan hajr adalah keluar dari hukum
asalnya –yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan
hukum asal kecuali disertai dengan dalil dan argumen yang kuat. Sebab
kaidah syari’at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal
melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih lagi hukum asal tersebut
dibangun di atas dalil yang sangat banyak, baik dalil-dalil yang menunjukan
hukum asal wajibnya persatuan dan persaudaraan, maupun dalil-dalil yang
menunjukan hukum asal haramnya hajr.
Apabila
seseorang keluar dari hukum asal tersebut dengan argumen yang tidak kuat, atau
bahkan masih berupa prasangka semata, berarti ia telah melawan sekian banyak
dalil yang mendukung hukum asal di atas.
Yang
sangat menyedihkan, di tanah air kita banyak sekali terjadi praktek hajr yang
tidak dibangun di atas dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr
yang hanya dibangun di atas prasangka belaka*,atau diterapkan pada
perkara-perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran, apalagi sampai
tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara-perkara yang
merupakan masalah ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para
ulama.
Catatan
* : Misalnya tuduhan bahwa saudaranya melakukan begini begitu, atau saudaranya
tersebut memiliki pemikiran nyeleneh, namun realitanya tidak demikian.
Terkadang mereka membangun hajr dan tahdzir karena
mendapatkan informasi dari sebagian sahabat mereka, atau sebagian murid mereka,
dengan dalih bahwa sahabat atau murid mereka yang membawa kabar tersebut adalah
orang yang tsiqah (terpercaya), sehingga mereka tidak perlu lagi tastabbut
(meneliti lebih lanjut). Kenyataan yang sering terjadi, kabar yang dibawa oleh
sahabat atau murid mereka tidak sesuai dengan kenyataan, atau telah dibumbui
dengan penyedap yang meracuni kehormatan saudaranya.
Lebih
menyedihkan lagi, sebagian orang yang menerapkan hajr hanya karena
permasalahan pribadi, lalu ia kait-kaitkan dengan manhaj. Masalah-masalah yang
menyangkut keduniaan digembar-gemborkan dengan label manhaj.** Mereka ini
menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya setan menghiasi
amalan mereka tersebut, sehingga mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah
ibadah.
Catatan
** : Syaikh Salim al-Hilali berkata, “Namun ternyata perkaranya adalah masalah
pribadi -sebagaimana guru kami, Syaikh al-‘Abbad, sebelumnya telah menerangkan
hal ini secara gamblang- (tetapi) kemudian dikemas dengan label khilaf
dalam masalah manhaj atau label perseteruan dalam masalah aqidah.”
Lihat Madzhab Syaikhil Islam fil Hajr, hal 169.
Sebagian
lagi menerapkan hajr tanpa kaidah dan batasan-batasan. Tanpa menimbang maslahat
dan mudharat. Sehingga mereka terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum
asal.
Penerapan
hajr secara membabi buta, tanpa menimbang mudharat dan maslahat, merupakan
suatu kemaksiatan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata,
“…atau tidak
dapat dirajihkan antara kerusakan dan maslahat, maka yang lebih dekat (kepada
kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, mengingat keumuman sabda
Nabi `:
لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث يلتقيان فيصُد هذا ويصد هذا وخيرهما
الذى يبدأ بالسلام
“Tidak
halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (memboikot) saudaranya lebih dari
tiga hari.“.” [HR. al-Bukhari (V/2302) (5879) dan Muslim (IV/1984) (2560).
Lihat Majmuu’ Fataawa Syaikh Ibnu 'Utsaimin (III/17) soal no (385).
Selain karena keumuman hadits tersebut juga karena hukum asal dalam berdakwah
adalah dengan kelembutan, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama
Salaf.]
Terlebih
lagi jika penerapan hajr tersebut jelas-jelas menimbulkan kerusakan, fitnah,
terhambatnya dakwah, dan lain-lain, maka tentunya lebih haram lagi.
Maka
benarlah penilaian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr
yang tidak sesuai dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya menyangka
bahwa mereka telah berbuat keta’atan kepada Allah dengan praktek hajr tersebut,
tetapi pada hakekatnya mereka menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsu.
Beliau berkata, “Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa
nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka
dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan
apa yang diinginkan hawa nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka
melakukannya karena Allah.” [Majmuu’ al-Fataawa
(XXVIII/203-210).]
Praktek
hajr yang tidak sesuai syari’at efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya,
karena hukum asal hajr adalah dosa besar. Oleh karena itu barangsisapa
yang ingin menerapkan hajr maka hendaknya ia benar-benar di atas bayyinah
bahwa ia memang berhak untuk melakukan hajr.
Senjata
Utama Setan Terhadap Ahli Tauhid Adalah Mengadu Domba Di Antara Mereka
Sesungguhnya
semangat setan untuk mencerai-beraikan barisan ahli tauhid (Ahlus Sunnah)
sangatlah besar dibandingkan semangat mencerai-beraikan barisan kaum muslimin
pada umumnya. Sebab, jika orang-orang yang bertauhid bercerai-berai maka dakwah
tauhid pun akan terhambat dan terbengkalai. Adapun ahli bid’ah, maka persatuan
mereka dibangun di atas kesesatan, sehingga justru itulah yang diharapkan oleh
setan. Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang persatuan mereka tegak di atas
kebenaran. Hal ini tentu saja sangat dibenci oleh setan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ
فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya
setan sudah putus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat. Namun ia
tidak putus asa untuk mengadu domba di antara mereka.” [HR. At-Tirmidzi
(IV/330) no (1937). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat as-Shahiihah
(IV/140) no (1608). Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/313)
no (14406); (III/354) no (14858); (III/366) no (14982); (III/384) no (15158);
dan Abu Ya’la (IV/73) no (2095); (IV/114) no (2154). Di dalam lafazh Imam
Muslim (IV/2166) no (2812) terdapat tambahan: "Pada jazirah
Arab."]
Al-Mubarakfuri
berkata, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang shalat adalah orang-orang yang
beriman, sebagaimana sabda Nabi `: ‘Aku melarang kalian dari membunuh
orang-orang yang shalat.’ Kaum mukminin dinamakan orang-orang yang shalat
karena shalat adalah amalan yang paling mulia dan merupakan perbuatan yang
paling tampak dalam menunjukkan keimanan.” [Tuhfatul Ahwaadzi
(VI/57).]
Di
dalam al-Ihsaan fi Taqriib Shahiih Ibn Hibbaan hadits tersebut
dibawakan di bawah judul:
ذِكْرُ
الأَخْبَارِ عَنْ تَحْرِيْشِ الشَّيَاطِيْنِ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَ
إِيَاسِهَا مِنْهُمِ عَنِ الإِشْرَاكِ بِاللهِ جَلَّ وَعَلاَ
“Penyebutan
kabar-kabar (hadits-hadits) bahwa setan-setan mengadu domba di antara kaum
muslimin tatkala mereka telah putus asa dari menjerumuskan kaum muslimin untuk
melakukan kesyirikan” [Al-Ihsaan (XIII/269).]
Jika
setan melihat kaum muslimin berada di atas tauhid dan putus asa dari
menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan, maka ia masih tidak putus asa untuk
berbuat “tahrisy” di antara mereka. Yang dimaksud dengan tahrisy
adalah membuat hati saling berselisih dan merusak hubungan. [Sebagaimana
perkataan Imam an-Nawawi di dalam Riyaadhush Shaalihiin.]
Imam
An-Nawawi berkata, “Setan berusaha mengadu domba di antara orang-orang yang
beriman dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan yang semisalnya.”
[Al-Minhaaj Syarh Shahiih Muslim (XVII/156).]
Maka
hendaknya para saudaraku yang berjuang dalam mendakwahkan tauhid agar
berhati-hati dan tidak terjerumus dalam perangkap setan yang ingin merusak
barisan mereka. Sesungguhnya senjata pamungkas setan tersebut sangat berbahaya
dan ampuh. Namun barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka
sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah.
Setan
menghiasi amalan sebagian orang yang berafiliasi kepada Ahlus Sunnah ketika
mencoba menasehati saudaranya yang menurutnya berbuat salah, dengan menerapkan hajr
yang tidak dilandasi dengan kaidah yang benar. Akibatnya justru menyebabkan
perpecahan yang berkepanjangan di kalangan Ahlus Sunnah dan berdampak sangat
buruk bagi penyebaran dakwah tauhid.
Kenyataan
Pahit dan Sangat Menyedihkan
Syaikh
‘Abdul Muhsin al-‘Abbad –hafizhahullaah- berkata, “Termasuk perkara
yang sangat disayangkan terjadi di zaman ini adalah apa-apa yang terjadi di
kalangan Ahlus Sunnah, berupa ketidakcocokan dan perpecahan, yang mengakibatkan
mereka sibuk saling men-tajrih (melukai), men-tahdzir, dan
meng-hajr. Yang wajib mereka lakukan adalah usaha mereka diarahkan
kepada selain mereka, dari kalangan orang-orang kafir dan ahli bid’ah yang
memusuhi Ahlus Sunnah. Hendaknya Ahlus Sunnah bersatu, saling menyayangi, dan
saling mengingatkan di antara mereka secara halus dan lembut.” [Rifqan
Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 19.]
Kalau
kita perhatikan kenyataan yang ada pada medan dakwah di Indonesia, kita dapati
bahwa salah satu sebab terbesar yang menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus
Sunnah, terhambatnya penyebaran dakwah, dan tertawanya ahli bid’ah -karena
mengejek Ahlus Sunnah yang menyeru kepada persatuan tetapi mereka
sendiri tidak bersatu- adalah penerapan hajr yang dilakukan
secara sembarangan, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang telah digariskan
oleh para ulama. Penerapan hajr secara membabi buta ini diterapkan
oleh sebagian Ahlus Sunnah yang mengaku paling dekat kepada Sunnah, dan
kemudian menuduh Ahlus Sunnah lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai
ahli bid’ah yang wajib untuk di-hajr (diboikot).
Hal
ini wajar, karena banyak dari mereka yang membaca kitab tanpa bimbingan para
ulama besar. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan hajr mubtadi’
(ahli bid’ah), sehingga akhirnya mereka menerapkan hajr secara
sembarangan. Ditambah lagi dengan ghirah dan semangat yang sangat
besar dalam memberantas bid’ah tanpa dibekali dengan ilmu tentang kaidah-kaidah
dalam menghukumi (baca: membid’ahkan) seseorang. Maka yang terjadi adalah
pembid’ahan secara membabi buta dan penghalalan harga diri dan kehormatan kaum
muslimin -yakni saudara-saudara mereka sesama Ahlus Sunnah- di depan khalayak
umum, atau bahkan saudara-saudara mereka tersebut jadi bahan tertawaan dan
lelucon di majelis-majelis mereka. Penerapan yang keliru ini berakibat buruk
bagi dakwah salafiyah, bagi kaum muslimin pada umumnya, dan terlebih lagi bagi
diri mereka sendiri kelak di akhirat.
Penerapan
Jarh wa Ta’diil Membutuhkan Taqwa dan Sikap Wara’
Memang
benar, memperingatkan seseorang dari bahaya ahli bid’ah adalah perkara yang
wajib dan dituntut dalam menjaga syari’at Islam. Sebagaimana halnya para ulama
berbicara tentang jarh wa ta’dil (celaan dan rekomendasi) demi menjaga
keutuhan syari’at dari noda-noda bid’ah dan kedustaan.
Imam
Ibnus Shalah berkata, “Pembicaraan tentang hal ini -baik jarh maupun ta’dil-
telah ada sejak dahulu, dari Rasulullah ` kemudian dari banyak Sahabat dan
Tabi’in, kemudian orang-orang setelah mereka. Dan hal ini dibolehkan dalam
rangka menjaga syari’at dan menolak kesalahan dan kedustaan tentang syari’at….
Aku
meriwayatkan dari Abu Bakr bin Khallad, ia berkata: Aku berkata kepada Yahya
bin Sa’id, ‘Tidakkah engkau khawatir, mereka yang telah engkau tinggalkan
hadits-haditsnya akan menjadi musuh-musuh engkau pada hari kiamat di hadapan
Allah?’ Yahya bin Sa’id menjawab, ‘Mereka menjadi musuh-musuhku pada hari
kiamat lebih aku sukai dibandingkan yang menjadi musuhku adalah Rasulullah `,
di mana beliau ` berkata kepadaku, ‘Kenapa engkau tidak membantah kedustaan
dari hadits-haditsku?’
Kami
juga meriwayatkan, atau sampai kepada kami, bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi
az-Zahid mendengar sesuatu perkataan (celaan terhadap para perawi hadits) dari
Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia pun berkata kepada Imam Ahmad, “Ya Syaikh,
janganlah engkau melakukan ghibah terhadap para ulama.” Imam Ahmad menjawab,
“Celaka engkau, ini adalah nasehat dan bukan ghibah.” [Lihat 'Uluumul
Hadiits, hal 350]
Namun
perlu diingat, tatkala seseorang ingin melakukan jarh (celaan)
terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan, maka janganlah mereka hanya
sekedar meneladani sikap keras Salaf dalam mencela ahli bid’ah. Tetapi
hendaknya mereka juga meneladani Salaf dalam hal ketakwaan, wara’ dan
ibadah mereka. Tatkala Salaf melakukan jarh terhadap seorang ahli
bid’ah, atau menghukumi seseorang sebagai ahli bid’ah, maka mereka melakukan
hal itu dengan penuh ketakwaan dan sifat wara’, sehingga mereka
memberikan penilaian terhadap orang tersebut sesuai haknya.
Yang
sungguh menyedihkan, sebagian orang di zaman ini bersemangat untuk melakukan jarh
dan sangat mudah membid’ahkan saudara-saudara mereka***, sedangkan kondisi
mereka sangat jauh dari sifat wara’. Hal ini sangatlah berbahaya bagi
kaum muslimin, terlebih lagi bagi diri mereka sendiri di akhirat kelak.
Catatan
*** : Padahal mayoritas saudara-saudara mereka yang di-tahdzir atau
dinyatakan sebagai ahli bid’ah hanyalah menyelisihi mereka dalam
perkara-perkara ijtihadiyyah yang tidak diperbolehkan jarh, tahdzir,
apalagi tabdi’, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Orang
yang ingin memasuki pintu jarh wa ta’dil harus memiliki sifat wara’
dan ketakwaan.
Imam
adz-Dzahabi berkata,
وَالْكَلاَمُ فِي الرُّوَاةِ يَحْتَاجُ إِلَى وَرَعٍ تَامٍّ وَبَرَاءَةٍ
مِنَ الْهَوَى وَالْمَيْلِ …
“Membicarakan
para perawi membutuhkan sifat wara’ yang sempurna dan terlepasnya diri dari
hawa nafsu dan kecendrungan (subjektifitas)….” [Lihat al-Muuqizhah, hal
82.]
Demikian
membicarakan kaum muslimin secara umum.
Ibnu
Daqiqil ‘Ied pernah menjelaskan lima sebab timbulnya jarh terhadap
seorang perawi. Tatkala menyebutkan sebab yang terakhir (kelima), beliau
berkata, “Kesalahan yang terjadi (dalam hal ini) disebabkan karena tidak adanya
sifat wara’ dan menghukumi dengan persangkaan dan indikasi-indikasi
yang terkadang berbeda-beda. Barangsiapa yang melakukan demikian maka ia telah
masuk dalam sabda Rasulullah ` ‘Hati-hatilah kalian terhadap prasangka
karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.’ Dan hal
ini (menghukumi seseorang dengan prasangka dan tanpa sifat wara’, pen)
bahayanya sangat besar, jika pihak yang melakukan jarh dikenal
keilmuannya namun tingkat ketakwaannya rendah. Sebab ilmu yang dimilikinya
menjadikannya sebagai orang yang berhak (ahli) untuk didengar perkataan dan jarh-nya****ibatnya,
timbullah kesalahan karena kurangnya sifat wara’ dan menyimpulkan hukum
berdasarkan prasangka…
Catatan
**** : Inilah perkara yang sangat berbahaya. Jika ternyata tukang jarh
atau tukang tabdi’ tersebut dikenal memiliki ilmu, namun jauh dari
sifat wara’. Lisannya terkenal ceplas-ceplos. Harga diri saudaranya
jadi mainan dan makanan sehari-hari dalam majelis-majelisnya. Bahkan sering
menjadi bahan tertawaan! Majelisnya terasa tidak sedap jika tidak diberi bumbu
celaan terhadap saudara-saudaranya. Selanjutnya perkataannya tersebut dijadikan
pegangan oleh banyak orang. Wallaahul musta’aan.
Karena
syarat-syarat tersebut (yaitu yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan jarh,
pen) sulit terkumpul (dalam diri individu tertentu), maka membicarakan
orang-orang memiliki bahaya yang besar…. Oleh karena itu aku katakan,
أَعْرَاضُ الْمُسْلِمِيْنَ حُفْرَةٌ من حُفَرِ النَّارِ
وَقَفَ عَلَى شَفِيْرِهَا طَائِفَتَانِ مِنَ النَّاسِ الْمُحَدِّثُوْنَ
وَالْحُكَّامُ
“Kehormatan
kaum muslimin adalah sebuah jurang dari jurang-jurang Neraka. Berdiri di tepi
jurang tersebut dua kelompok manusia, yaitu para muhaddits (ahli hadits yang
berbicara tentang derajat para perawi, pen) dan penguasa.“ [Lihat al-Iqtiraah,
hal 301-302.]
Imam
Ibnus Shalah berkata, “Wajib bagi orang yang berkecimpung dalam hal ini (jarh
wa ta’dil, pen) untuk bertakwa kepada Allah, ber-tatsabbut
(mengecek kembali), dan menjauhi sifat tasahul (sikap memudahkan),
agar ia tidak melakukan jarh terhadap seorang yang sebenarnya selamat
(dari hal tersebut) dan tidak menyifati seseorang yang tidak bersalah dengan
sifat yang buruk, kemudian sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang
tersebut hingga hari kiamat…. Apa yang kami riwayatkan, atau kami sampaikan,
bahwa Yusuf bin al-Hasan ar-Razi ash-Shufi menemui Ibnu Abi Hatim yang dalam
keadaan sedang membaca buku karyanya tentang al-jarh wat ta’dil. Yusuf
berkata, ‘Berapa banyak dari mereka (yaitu orang-orang yang tercantum dalam
buku al-Jarh wat Ta’diil tersebut) telah menempati tempat-tempat
mereka di Surga sejak seratus atau dua ratus tahun yang lalu, sementara engkau
masih sibuk menyebut-nyebut mereka dan melakukan ghibah terhadap
mereka.’ (Mendengar hal ini), ‘Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim) pun menangis.*****
Catatan
***** : Perhatikan betapa wara’-nya Imam Ibnu Abi Hatim. Beliau memang
menerapkan prinsip-prinsip jarh wa ta’dil, namun hal itu
hanyalah didasari oleh niat untuk memurnikan hadits-hadits Nabi `. Duhai,
sekiranya saja orang-orang yang melakukan jarh di zaman ini juga
meneladani beliau dalam sifat wara’ tersebut.
Juga
telah sampai kepada kami, bahwa ketika Ibnu Abi Hatim sedang membacakan
kitabnya, al-Jarh wat Ta’diil, kepada khalayak, maka disampaikan
kepadanya kabar dari Yahya bin Ma’in, bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kita
sedang mencela orang-orang yang mungkin saja mereka telah menempati
tempat-tempat mereka di Surga sejak dua ratus tahun lebih.” (Mendengar hal
ini), ‘Abdurrahman (Ibnu Abi Hatim) pun menangis, kedua tangannya gemetar,
sehingga jatuhlah kitab (yang sedang dibacanya) dari tangannya.” [Lihat 'Uluumul
Hadiits, hal. 350-351.]
[Dicuplik dari Kata Pengantar “Lerai Pertikaian Sudahi
Permusuhan”, Media Tarbiyah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar