Samahatus
Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz –rahimahullahu- berkata, sebagaimana
termuat dalam harian al-Jazirah, ar-Riyadh, asy-Syirqul Awsath, Sabtu
22/6/1412 H. sebagai berikut :
“Telah
merebak di zaman ini tentang banyaknya orang-orang yang menisbatkan diri
kepada ilmu (tholibul ‘ilm, pent.) dan terhadap dakwah kepada kebajikan
(da’i, pent.) yang mencela kehormatan kebanyakan saudara-saudara mereka para
du’at yang masyhur dan memperbincangkan kehormatan (menjelekkan, pent.) para
thullabul ‘ilm (penuntut ilmu), para du’at dan khatib (penceramah). Mereka
melakukannya secara sirriyah (sembunyi-sembunyi) di dalam majelis-majlis
mereka, dan bisa jadi ada yang merekamnya di kaset-kaset kemudian disebarkan
kepada manusia.
Terkadang
pula mereka melakukannya secara terang-terangan di dalam muhadharah ‘am
(ceramah umum) di masjid-masjid. Cara ini menyelisihi dengan apa-apa yang
diperintahkan Allah dan rasul-Nya, dengan beberapa alasan :
Pertama, Hal ini merusak hak-hak kaum
muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap
usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah
dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola
durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta
penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Kedua, Hal ini memecah belah persatuan kaum
muslimin dan memporakporandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih
membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan
berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola
(perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat.
Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari ahlis
sunnah wal jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan
khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat,
dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para
penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan)
di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan
memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan
ahli bid’ah serta kesesatan.
Ketiga, sesungguhnya perbuatan ini (yaitu
mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang
dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor
akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan
kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun
kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam
persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu
musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para
du’at.
Keempat, Hal ini akan menyebabkan rusaknya
hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan
menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini
merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka
pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka
ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka
menghancurkan kaum mukminin.
Kelima, Sesungguhnya kebanyakan
perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya
perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang
Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari purbasangka, karena
sesungguhnya sebagaian purbasangka itu adalah dosa.” (al-Hujurat : 11-12).
Selayaknyalah bagi seorang muslim membawa ucapan saudaranya seislam pada
sebaik-baik tempat (kepada makna yang paling baik). Sebagian Salaf berkata,
“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap perkataan yang dilontarkan
saudaramu sedangkan engkau dapat membawa perkataan tersebut pada makna yang
baik.”
Keenam, Apa yang didapatkan dari ijtihad
sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang
memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh
disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada
orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan
cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak
waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mukminin. Jika hal ini tidak
memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka
hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut
tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan
seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa
menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak
dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang
perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??’
*”
Keterangan : * Isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah
Radhiyallahu ‘anha ketika berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam jika menyampaikan sesuatu tentang seseorang beliau tidak berkata,
‘mengapa fulan berkata demikian’, namun beliau berkata, ‘mengapa ada kaum
yang berkata demikian dan demikian?’…’ Hadits Shahih diriwayatkan Abu Dawud
dalam bab al-Idznu wal Isti’dzan (izin dan meminta izin), lihat Silsilah
ash-Shahihah no 2064.
Berkata
Syaikh kami yang mulia, al-Muhaddits al-Ashr al-Mujaddid al-Faqih Muhammad
Nashirudin al-Albani –Rahimahullah- di dalam kaset Silsilah al-Huda wan Nur
ash-Shouthiyah no 784 side A, sebagai berikut :
“Syuf
(perhatikan) wahai saudaraku! Aku menasehatkanmu dan para pemuda lainnya yang
berada di jalan munharif (menyeleweng) sebagaimana tampak pada kami, wallahu
a’lam, untuk tidak membuang-buang waktumu untuk mencela satu dengan lainnya
dan sibuk dengan mengatakan fulan begini dan fulan berkata begitu.
Dikarenakan, pertama, hal ini tidaklah termasuk ilmu sama sekali, dan yang
kedua, uslub (cara) ini akan merasuk ke dada dan menyebabkan kedengkian serta
kebencian di dalam hati… Wajib atasmu menuntut ilmu!!! Karena ilmulah yang
akan menyingkapkan apakah perkataan ini yang mencela Zaid atau fulan dari
manusia dikarenakan dirinya memiliki banyak kesalahan, apakah berhak bagi
kita untuk menyebutkan shohibul bid’ah atau mubtadi’ ataukah tidak?? Apa yang
harus kita lakukan dengan mendalami perkara ini?? Aku tidak menasehatkanmu
untuk mendalami seluruh perkara ini dengan benar-benar, karena hakikatnya
kita sekalian sedang mengeluhkan perpecahan ini yang terjadi di tengah-tengah
orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) pada dakwah al-Kitab dan
as-Sunnah, atau sebagaimana kita menyebutnya, Dakwah Salafiyah…!!!
Perpecahan
ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan
kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada
sebagian pemikiran. Inilah nasehatku… karena telah sering aku ditanya, ‘apa
pendapatmu tentang fulan?’, dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang
yang memihak atau memusuhi… dan terkadang orang yang ditanyakan adalah
diantara saudara-saudara kita terdahulu yang dikatakan dia menyimpang, rnmaka
kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan
fulan?? Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu!
Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang
shalih, mana yang bathil dan mana yang haq…!!! Kemudian janganlah engkau ini
mendengki terhadap saudara seislam dikarenakan ia jatuh kepada beberapa
rnkesalahan.
Kami
tidak mengatakan salah, namun kami katakan ia menyimpang dalam satu, dua atau
tiga perkara, dan perkara lainnya ia tidak menyimpang. Kita dapati para Imam
Ahli Hadits yang menerima haditsnya (orang yang menyimpang) dan disebutkan di
dalam riwayatnya ia khariji atau murji`i atau lainnya. Ini semua adalah aib
dan kesesatan, namun diperoleh pada timbangan tersebut yang mereka berpegang
teguh padanya. Kita tidak menimbang beratnya keburukannya dari
kebaikan-kebaikannya atau dua atau tiga keburukannya terhadap banyaknya
kebaikannya, dan yang terbesar adalah syahadat Laa ilaaha illa Allah wa
Muhammad Rasulullah.” Syaikh juga berkata tentang definisi siapakah
mubtadi’ itu di dalam kaset Silsilah Huda wa Nur ash-Shouthiyah no 785 side
B, sebagai berikut : “Atsar Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bermanfaat untuk
menunjukkan contoh dari terjatuhnya seorang alim kepada bid’ah tidaklah serta
merta menjadikannya mubtadi’ dan jatuhnya seseorang kepada perbuatan haram,
dengan pernyataan memperbolehkan apa-apa yang diharamkan secara ijtihad,
tidak serta merta menjadikannya sebagai pelaku keharaman.
Saya
katakan, atsar Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu ini menunjukkan bahwasanya ia
dulu berdiri menasehati manusia pada hari Jum’at sebelum sholat, berfaidah
untuk menunjukkan contoh yang shahih, bahwa bid’ah yang terkadang terjatuh
kepada seorang alim, tidaklah dengan demikian ia menjadi seorang mubtadi’.
Sebelum masuk ke jawaban yang lengkap, aku katakan, al-Mubtadi’ adalah
berawal dari kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama, dan tidaklah
orang yang mengada-adakan bid’ah, walaupun ia mengamalkannya bukan karena
ijtihadnya, namun dari hawa nafsunya, tidak serta merta dikatakan dia
mubtadi’!! contoh terjelas yang paling dekat dengan perkara ini adalah,
seorang hakim yang dhalim yang terkadang berlaku adil pada sebagian
hukum-hukumnya, tidaklah bisa disebut hakim adil, sebagaimana pula seorang
hakim yang adil yang terkadang melakukan kedhaliman di sebagian
hukum-hukumnya, tidaklah dinamakan dirinya hakim dhalim. Hal ini berkaitan erat
dengan kaidah fiqh islami yang menyatakan bahwasanya seorang manusia dilihat
dari banyaknya kebaikan atau keburukannya. Jika kita telah mengetahui hakikat
ini, maka kita dapat mengetahui siapakah mubtadi’ itu… maka, dengan demikian
disyaratkan bagi mubtadi’ dua hal, yaitu pertama, dia bukanlah seorang
mujtahid namun hanyalah pengikut hawa nafsu dan kedua, dia menjadika
bid’ahnya sebagai kebiasaan dan agamanya.”
Syaikh
al-Imam Faqihuz Zaman, al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
–rahimahullahu- berkata saat Liqo`ul Babil Maftuh (Pertemuan terbuka) no
1322, sebagai berikut : “Salafiyyah adalah ittiba’ terhadap manhaj Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka
adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka
adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang
tersendiri dengan menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka
berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi
salafiyyah!!! Kaum salaf seluruhnya menyeru kepada Islam dan bersatu di atas
Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka tidak menyesatkan
orang-orang yang menyelisihinya karena perkara takwil/penafsiran yang
berbeda, Allahumma, kecuali dalam perkara aqidah, dikarenakan mereka
berpandangan bahwa siapa-siapa yang menyelisihinya dalam perkara aqidah, maka
telah sesat. Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman
ini, menjadikan manhajnya dengan menyesatkan setiap orang yang menyelisihinya
walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan hal ini sebagai
manhaj hizbiyah sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah
islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan.
Dikatakan, ‘lihatlah kepada madzhab salafus shalih, apa yang mereka perbuat
di dalam jalan mereka dan kelapangan dada mereka pada perkara khilaf yang
memang diperbolehkan ijtihad di dalamnya, sampai pada taraf mereka berselisih
di dalam perkara aqidah dan ilmu… engkau dapati mereka, misalnya, mengingkari
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat Rabbnya dan sebagian lagi
menetapkannya, ada lagi yang berpendapat yang ditimbang pada hari kiamat
nanti adalah anak dan sebagiannya berpendapat lembaran-lembaran amal-lah yang
ditimbang. Engkau dapati pula mereka berselisih di dalam masalah fiqhiyah,
baik dalam masalah nikah, faraidh, iddah, jual beli dan lain-lain. Walaupun
demikian, mereka tidak saling menyesatkan satu dengan lainnya. Jadi,
salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya
mereka membeda-bedakan dan menyesatkan selain mereka, maka mereka bukanlah
termasuk salafiyah sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah yang ittiba’ terhadap
manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan, perselisihan, persatuan,
cinta kasih dan kasih saying sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, ‘permisalan kaum mukminin satu dengan lainnya dalam hal kasih sayang,
tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang satu, jika salah satu
anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam atau ikut
sakit.’ (HR Muslim), maka inilah salafiyah yang hakiki!!!”
Syaikh
al-Allamah Sholih bin Fauzan al-Fauzan –hafidhahullahu ta’ala- menasehatkan
saat muhadharah tentang Aqidah dan Dakwah III/69, sebagai berikut : “Diantara
kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian ini adalah munculnya perpecahan
di tengah-tengah kaum muslimin, dikarenakan disibukkannya mereka satu dengan
lainnya dengan tajrih (mencela) dan memberi laqob (gelar) yang buruk, dan
tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan dirinya dari lainnya, dan mereka
menyibukkan kaum muslimin dengan perihal mereka masing-masing, sehingga hal
ini menjadi kesibukan mereka melebihi daripada mempelajari ilmu yang
bermanfaat. Karena sesungguhnya, banyak dari para penuntut ilmu yang
beritanya sampai kepada kami, mereka menyibukkan diri dengan
perkataan-perkataan terhadap manusia dan mengusik kehormatan mereka, sembari
mereka menyalahkan hal ini dan membenarkan hal itu, memuji ini dan
menyesatkan itu… tidaklah mereka ini disibukkan, melainkan hanya
memperbincangkan perihal manusia…” Syaikh hafidhahullah juga berkata dalam
Dhahiratul tabdi’, tafsiq wa takfir sebagai berikut : “Sungguh telah muncul
pada zaman ini di kalangan para pemuda dan orang-orang Islam yang jahil terhadap
hakikat Islam dikarenakan semangat yang meluap dan tidak pada tempatnya,
sikap tabdi', tafsiq dan takfir. Hingga kesibukan mereka dalam segala urusan
hidup dipenuhi oleh sifat-sifat tercela ini. Membahas aib-aib dan
menyebarkannya hingga tersebar luas. Ini merupakan tanda fitnah dan
kehancuran. Kita memohon kepada Allah Ta'ala agar menjaga kaum Muslimin dari
kejelekannya dan mengarahkan para pemuda muslim pada jalan yang benar dan
menganugerahkan amal di atas manhaj salafus sholih, meniti di atasnya serta
menjauhkan mereka dari da'i-da'i jahat.''
Berkata
Syaikh kami yang mulia, al-Alim al-Muhaddits al-Madinah, Syaikhnya Masyaikh,
Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr –hafidahullahu- dalam nasehat beliau terhadap
syabab di risalah Rifqon ahlas sunnati bi ahli sunnati, sebagai berikut :
“Pertama,
Hendaknya orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para
penuntut ilmu serta mentahzir terhadap mereka tersebut hendaklah ia merasa
takut kepada Allah, lebih baik ia menyibukan diri dengan memeriksa aib-aibnya
supaya ia terlepas dari aibnya tersebut, dari pada ia sibuk denga aib-aib
orang lain, dan menjaga kekekalan amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya
secara sia-sia dan membagi-bagikannya kepada orang yang dicela dan dicacinya,
sedangkan ia sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan
tersebut pada hari yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak
keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
Kedua, Hendaklah ia menyibukan dirinya
dengan mencari ilmu yang bermanfaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan
tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut
supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfa,at dan
bermanfa’at, maka dianatra pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah bahwa
ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis, apabila ia
mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang
membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para
penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan untuk
mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur, orang
yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan
sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at serta manusia tidak akan merasa
kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka
manfa’at, justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari
kejahatannya.”
Nasehat
Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Albani, Syaikh Utsaimin dan Syaikh Fauzan (pertama)
di atas dinukil dan dialihahasakan oleh Abu Salma bin Burhan dari kutaib
Aqwalu wa Fatawa Ulama fi tahdzir ‘ala Jama’atil Hajr wat Tabdi’ Nasehat
Syaikh Fauzan (kedua) dinukil dari buku Dhahiratu Tabdi' wa Tafsiq wa Takfir
wa Dlowabituha (Bahaya tafsiq, takfir dan tabdi', Pustaka Imam Bukhori)
Nasehat Syaikh Abbad dinukil dari buku Rifqon Ahlas Sunnati bi Ahlis Sunnah
(Berlemah lembut sesame Ahlus Sunnah, alih bahasa : al-Ustadz al-Karim Abul
Hasan al-Maidani, Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah)
|
1 komentar:
Mengapa mereka cinta perpecahan dan mudah sekali meyulut atau pun tersulut
sungguh dakwah itu dengan lim kelembutan itu yang di ajarkan Rasulullah bukan kedengkian
Posting Komentar